BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu berkat hubungan dagang dengan
negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan
wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal
tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi
Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan
juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada
abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu, yaitu kerajaan
Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Pada
masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada
masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di
Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar
tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah
dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di
Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah
Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya
adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa
Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti
yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
B.
Batasan-batasan
Masalah
Karena terbatasnya wawasan dan informasi
serta waktu, agar pembahasan tidak
terlalu meluas, penulis merasa perlu memberikan batasan-batasan masalah.
Tujuannya guna mempermudah didalam
memahami makalah ini, penulis membatasi mengenai perkembangan kerajaan Hindu di
Indonesia hanya membahas perkembangan kerajaan Hindu di Pulau Kalimatan.
C.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang dan batasan-batasan masalah diatas dapat diambil beberapa
identifikasi masalah, antara lain sebagai berikut:
1.
Bagaimana perkembangan
kerajaan Hindu di Pulau Kalimatan ?
2.
Bagaimana perkembangan
kerajaan Hindu di Indonesia ?
BAB
II
PEMBAHASAN
D.
Kerajaan-kerajaan
Hindu di Indonesia
·
Kerajaan
Hindu di Pulau Kalimatan
1.
Kerajaan
Kutai
Kutai Martadipura adalah kerajaan
bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar
abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di
hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama
tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut.
Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang
sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.
a. Yupa
Informasi yang ada
diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad
ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam
menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang
berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah
satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu
adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya
menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
b. Mulawarman
Mulawarman adalah anak
Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental
dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga
adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia.
Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.
c. Aswawarman
Aswawarman adalah Anak
Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga
diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki
3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah
Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman,
Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir
seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai
seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan
pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
d. Berakhir
Kerajaan
Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam
peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji
Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan
Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama
(Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam
sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan
Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
e. Nama-Nama
Raja Kutai
·
Maharaja Kundungga,
gelar anumerta Dewawarman pendiri
·
Maharaja Aswawarman
(anak Kundungga)
·
Maharaja Mulawarman
·
Maharaja Marawijaya
Warman
·
Maharaja Gajayana
Warman
·
Maharaja Tungga Warman
·
Maharaja Jayanaga
Warman
·
Maharaja Nalasinga
Warman
·
Maharaja Nala Parana
Tungga
·
Maharaja Gadingga
Warman Dewa
·
Maharaja Indra Warman
Dewa
·
Maharaja Sangga Warman
Dewa
·
Maharaja Candrawarman
·
Maharaja Sri Langka
Dewa
·
Maharaja Guna Parana
Dewa
·
Maharaja Wijaya Warman
·
Maharaja Sri Aji Dewa
·
Maharaja Mulia Putera
·
Maharaja Nala Pandita
·
Maharaja Indra Paruta
Dewa
·
Maharaja Dharma Setia
2.
Kerajaan
Negara Daha
Kerajaan
Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha)yang pernah berdiri di
Kalimantan Selatan sejaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara
Dipa merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Pusat pemerintahan/ibukota kerajaan
ini berada di Muhara Hulak/kota Negara (sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu
Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan dipindahkan dari pelabuhan lama
Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan baru pada Bandar Muara
Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala).
Kerajaan
Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu
berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai). Pemindahan
ibukota dari Kuripan adalah untuk menghindari bala bencana karena kota itu
dianggap sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir
sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama kerajaan juga berubah sehingga
disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya yang ketiga ketika
dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.
a. Raja
Negara Daha
·
Raden Sakar
Sungsang/Raden Sari Kaburungan/Ki Mas Lalana bergelar Maharaja Sari Kaburungan
atau Panji Agung Rama Nata[3] putera dari Putri Kalungsu/Putri Kabu Waringin,
ratu terakhir Negara Dipa
·
Raden Sukarama bergelar
Maharaja Sukarama, kakek dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar I)
·
Raden Paksa bergelar
Pangeran Mangkubumi
·
Raden Panjang bergelar
Pangeran Tumenggung
Wilayah
pengaruh kerajaan ini meliputi propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura, sedangkan sebelah
timur berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.
Islam
datang ke daerah Kalimantan Selatan dari Giri pada masa Raden Sekar Sungsang
yang pernah merantau ke pulau Jawa dan disana telah memiliki anak bernama Raden
Panji Sekar yang menikahi putri dari Sunan Giri kemudian bergelar Sunan
Serabut. Tetapi Islam baru menjadi agama negara pada tahun 1526 pada masa
kekuasaan Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah. Aksara Arab-Melayu telah
digunakan sebelum berdirinya Kesultanan Banjar.
Karena
kemelut di Kuripan/Negara Daha, beberapa tumenggung melarikan diri ke negeri
Paser di perbatasan Kerajaan Kutai Kartanegara dan kemudian mendirikan Kerajaan
Sadurangas di daerah tersebut.
Peninggalan
Kerajaan Negara Daha dapat dilihat Kota Negara (Daha) dan Amuntai
3.
Kerajaan
Negara Dipa
Kerajaan
ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya. Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang
berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini adalah pendahulu Kerajaan
Negara Daha. Kerajaan Negara Daha terbentuk karena perpindahan ibukota kerajaan
dari Amuntai (ibukota Negara-Dipa di hulu) ke Muhara Hulak (di hilir). Sejak
masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat
sampai Tanjung Puting.
Artefak
yang ditemukan di situs Candi Laras koleksi Museum Lambung Mangkurat.
Kerajaan
Negara Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang
masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai
kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan
Banjar. Salah satu negeri bawahan Kuripan adalah Negara Dipa. Menurut Hikayat
Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang
berasal dari Keling (Coromandel). Menurut Veerbek (1889) Keling, propinsi
Majapahit di barat daya Kediri.Menurut Paul Michel Munos dalam
Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia, hal 401 dan
435, Empu Jamatka (maksudnya Ampu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia
berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara
Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan
dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia berhasil
menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan yang
wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Ampu Jatmika tidak
menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku).
Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di sungai
berhasil memperoleh Putri Junjung Buih yang kemudian dijadikan Raja Putri di
Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang
Pangeran yang sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak
bergelar Pangeran Suryanata I. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan mereka
berdua inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa.
Menurut
Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum
Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika
sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh
wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu
nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi
Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)
Kerajaan
Negara Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir
sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah
ke hulu sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika
menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa
memiliki keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan
Negara Dipa. Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar
hulu sungai Bahan (sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan
sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai
Negara).
·
Raja Negara Dipa
1. Periode
Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya.
Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.
2. Ampu
Jatmaka gelar Maharaja di Candi, saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa
tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras di hilir kemudian mendirikan
(atau menaklukan) negeri Candi Agung di hulu di sebalik negeri Kuripan. Ampu
Jatmaka sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan [raja negeri
lama yang berdiri sebelumnya] yang tidak memiliki keturunan, tetapi Ampu
Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga negeri/distrik
ini dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (Balangan) yang muncul di
dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal Negara
Dipa. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas
wilayah dengan menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap. Ia
jua memerintahkan Arya Megatsari menaklukan batang Alai, batang Labuan Amas dan
batang Amandit. Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di
negara bagian Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina).
3. Lambung
Mangkurat [logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] bergelar Ratu Kuripan, putera
Ampu Jatmika (sebagai Penjabat Raja). Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan
dari Tanjung Silat/Selatn sampai Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai
Barito sampai sungai Seruyan.
4. Raden
Galuh Ciptasari alias Putri Ratna Janggala Kadiri gelar anumerta Putri Junjung
Buih [perwujudan putri buih/putri bunga air menurut mitos Melayu] yaitu puteri
angkat Lambung Mangkurat, diduga Ratu I ini berasal dari Majapahit yang disebut
Bhre Tanjungpura. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah
Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [abangnya
Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [Bhre Kalimantan] dan
Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 [adik bungsu Manggalawardhani] keduanya
menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 [ayahnya Sripura] tetapi perkawinan
ini tidak memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura
menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut
Prasasti Trailokyapuri Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu
Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
5. Rahadyan
Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja
Suryanata [perwujudan raja dewa matahari], suami Putri Junjung Buih yang
dilamar/didatangkan dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan. Raja ini
berhasil menaklukan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang
besar/penguasa Batang Lawai (sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin,
orang besar Pasir, raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut
Hikayat Banjar Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran
Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa
pengasas dinasti].
Ketiga putera ini
memerintah di daerah yang berlainan
(a) Undan Besar dan
Undan Kuning,
(b) Undan Kulon dan
Undan Kecil
(c) Candi Laras, Candi
Agung, Batung Batulis dan Baparada [Batu Piring] serta Kuripan. Setelah
beberapa lama memerintah [pada tahun 1464]
Putri Junjung Buih dan
Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan
dilanjutkan oleh putera-puteranya. Nama Rajasa yang digunakan raja ini
kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang
Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya 1429-1447. Dyah
Wijayakumara [Bhre Kahuripan VI] memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre
Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu Samarawijaya [Bhre
Kahuripan VII], Wijayakarana, [Bhre Mataram V], Wijayakusuma (Bhre Pamotan II),
dan Ranawijaya (Bhre Kertabhumi, Kartapura Tanjungpura).
6. Aria
Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat
Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan [yang ibunya
meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri Kabu Waringin [karena minum air
susu kerbau putih yang diikat di pohon beringin] yaitu puteri dari Lambung
Mangkurat
(Ratu Kuripan) dengan
Dayang Diparaja.
7. Raden
Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah
putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut
Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit
Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden
Sekar Sungsang [Panji Agung Rama Nata] pernah merantau ke Jawa [dan diduga
sudah memeluk Islam] dan di Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh
dua putera bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar [yang kemudian
bergelar Sunan Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari
Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari gelar Ratu Lamak
(puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang
menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya Ratu Anom
yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.
Menurut
Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias
Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (Aria Dewangga) sempat
menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu
Maharaja Carang Lalean (Raden Aria Dewangsa) mengatakan bahwa ia hendak pulang
ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan
kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya
berperang melawan pamannya Raja Majapahit). Maharaja Carang Lalean kemudian
melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.
Pada
masa Maharaja Sari Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri
Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota
kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah
kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan
anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian diganti menjadi Negara Daha
(sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang
baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.
Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.
4.
Kerajaan
Kuripan
Kerajaan
Kuripan, atau disebut pula Kahuripan, adalah kerajaan kuno yang beribukota di
kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kerajaan
Kuripan berlokasi di sebelah hilir dari negeri Candi Agung (Amuntai Tengah).
·
Sejarah Kerajaan Kuripan
Diduga
pusat pemerintahan kerajaan ini berpindah-pindah di sekitar Kabupaten Hulu
Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini. Kabupaten Tabalong terletak di
sebelah hulu dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, karena di kawasan Kabupaten Hulu
Sungai Utara sungai Bahan/sungai Negara bercabang ke arah hulunya menjadi dua
yaitu daerah aliran sungai Tabalong dan daerah aliran sungai Balangan. Menurut
kebiasaan di Kalimantan, penamaan sebuah sungai biasanya berdasarkan nama
kawasan yang ada di sebelah hulunya. Karena itu penamaan sungai Tabalong
berdasarkan nama daerah yang ada di sebelah hulu dari sungai tersebut, yang
pada zaman Hindia Belanda disebut Distrik Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak
sungai Bahan, sedangkan sungai Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke
laut Jawa.
Diduga
nama Kerajaan Kuripan sebutan lain dari Kerajaan Tabalong yang disebutkan dalam
Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pujangga Majapahit yakni Mpu Prapanca pada
tahun 1365. Sebutan Kerajaan Tabalong berdasarkan nama kawasan dimana kerajaan
tersebut berada. Sedangkan nama Kuripan mungkin nama ibukotanya saat itu. Nama
Kuripan diduga adalah nama lama kota Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara
yang terletak di sekitar muara sungai Tabalong.
Menurut
Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum
Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika
sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh
wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu
nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi
Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984
Kerajaan
Kuripan ini diduga adalah kerajaan yang sama dengan Kerajaan Tanjungpuri atau
Kerajaan Nan Sarunai atau mungkin pula Nan Sarunai adalah bawahan dari Kuripan.
Selanjutnya kekuasaan kerajaan orang pribumi kemudian digantikan penguasa baru
daerah ini yaitu Dinasti Negara Dipa yang berdarah Majapahit.
Pemerintahan
suku Maanyan di kerajaan Nan Sarunai mendapat serangan dari Jawa (Majapahit)
sebanyak dua kali yang disebut orang Maanyan dengan istilah Nansarunai Usak
Jawa, sehingga suku Maanyan menyingkir ke pedalaman pada daerah yang dihuni
suku Lawangan kecuali sebagian yang kemudian bergabung ke dalam pemerintahan orang
Majapahit. Diduga serangan yang kedua adalah serangan dari Pangeran Surya Nata
I yang telah mengokohkan kedudukannya sebagai Raja Negara Dipa setelah menikah
dengan Putri Junjung Buih. Menurut orang Maanyan, kerajaan Nan Sarunai ini
telah ada pengaruh Hindu, yaitu adanya pembakaran tulang-tulang dalam upacara
kematian suku Maanyan, yang merupakan aliran Hindu-Kaharingan, sebelumnya tidak
dikenal pembakaran tulang-tulang dalam agama Kaharingan yang asli. Periode
Kerajaan Kuripan/Nan Sarunai ini sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura,
sedangkan Periode Negara Dipa sezaman dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yaitu
di masa kerajaan Majapahit. Negara Dipa merupakan kerajaan yang multi-etnik
yang pertama di Kalimantan Selatan.
E.
Kerajaan-kerajaan
Hindu Indonesia yang lainnya
·
Kerajaan
di Pulau Jawa
Kerajaan
Salakanagara (150-362)
Kerajaan
Tarumanegara (358-669)
Kerajaan
Sunda Galuh (669-1482)
Kerajaan
Kalingga
Kerajaan
Mataram Hindu
Kerajaan
Kadiri (1042 - 1222)
Kerajaan
Singasari (1222-1292)
Kerajaan
Majapahit (1292-1527)
·
Kerajaan
di Pulau Sumatera
Kerajaan
Malayu Dharmasraya (1183–1347)
Kerajaan
Sriwijaya (600–1300)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Indonesia mulai berkembang pada zaman
kerajaan Hindu berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang
lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk
ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir
dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan
Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir
Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat
kerajaan yang bercorak Hindu, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan
Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Dengan demikian kerajaan-kerajaan di
indonesia dapat dijadikan dasar kebudayaan yang ada di Indonesia. Oleh karena
itu Indonesia mempunyai keanekaragaman kebudayaan.
B.
Saran
Saran untuk pembaca agar dapat lebih
memahami isi makalah ini. Dan dijadikan informasi atau ilmu yang sangat
bermanfaat terutama dalam pembahasan tentang kerajaan-kerajaan Hindu yang ada
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://afandikusuma.blogspot.com/2011/05/kerajaan-kerajaan-hindu-di-
indonesia.html
http://history55education.wordpress.com/2011/07/20/perkembangan-kerajaan-hindu-di-indonesia/
http://indobeta.com/perkembangan-dan-sejarah-kerajaan-hindu-di-indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Hindu
http://www.anneahira.com/perkembangan-agama-hindu.htm
0 komentar:
Posting Komentar