Personal

Rabu, 05 Desember 2012

PERKEMBANGAN KERAJAAN HINDU DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.


Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

B.       Batasan-batasan Masalah
Karena terbatasnya wawasan dan informasi  serta waktu, agar pembahasan tidak terlalu meluas, penulis merasa perlu memberikan batasan-batasan masalah.
Tujuannya guna mempermudah didalam memahami makalah ini, penulis membatasi mengenai perkembangan kerajaan Hindu di Indonesia hanya membahas perkembangan kerajaan Hindu di Pulau Kalimatan.

C.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan-batasan masalah diatas dapat diambil beberapa identifikasi masalah, antara lain sebagai berikut:
1.         Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu di Pulau Kalimatan ?
2.         Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

D.      Kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia
·      Kerajaan Hindu di Pulau Kalimatan
1.    Kerajaan Kutai
Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.
a.    Yupa
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

b.    Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.

c.    Aswawarman
Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

d.   Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

e.    Nama-Nama Raja Kutai
·         Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman pendiri
·         Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
·         Maharaja Mulawarman
·         Maharaja Marawijaya Warman
·         Maharaja Gajayana Warman
·         Maharaja Tungga Warman
·         Maharaja Jayanaga Warman
·         Maharaja Nalasinga Warman
·         Maharaja Nala Parana Tungga
·         Maharaja Gadingga Warman Dewa
·         Maharaja Indra Warman Dewa
·         Maharaja Sangga Warman Dewa
·         Maharaja Candrawarman
·         Maharaja Sri Langka Dewa
·         Maharaja Guna Parana Dewa
·         Maharaja Wijaya Warman
·         Maharaja Sri Aji Dewa
·         Maharaja Mulia Putera
·         Maharaja Nala Pandita
·         Maharaja Indra Paruta Dewa
·         Maharaja Dharma Setia

2.    Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Negara Daha adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha)yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan sejaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara Dipa merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Pusat pemerintahan/ibukota kerajaan ini berada di Muhara Hulak/kota Negara (sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan), sedangkan bandar perdagangan dipindahkan dari pelabuhan lama Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan baru pada Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala).

Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai). Pemindahan ibukota dari Kuripan adalah untuk menghindari bala bencana karena kota itu dianggap sudah kehilangan tuahnya. Pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir sungai Negara (sungai Bahan) menyebabkan nama kerajaan juga berubah sehingga disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya yang ketiga ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha.

a.    Raja Negara Daha
·      Raden Sakar Sungsang/Raden Sari Kaburungan/Ki Mas Lalana bergelar Maharaja Sari Kaburungan atau Panji Agung Rama Nata[3] putera dari Putri Kalungsu/Putri Kabu Waringin, ratu terakhir Negara Dipa
·      Raden Sukarama bergelar Maharaja Sukarama, kakek dari Sultan Suriansyah (Sultan Banjar I)
·      Raden Paksa bergelar Pangeran Mangkubumi
·      Raden Panjang bergelar Pangeran Tumenggung

Wilayah pengaruh kerajaan ini meliputi propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Kutai Kartanegara.

Islam datang ke daerah Kalimantan Selatan dari Giri pada masa Raden Sekar Sungsang yang pernah merantau ke pulau Jawa dan disana telah memiliki anak bernama Raden Panji Sekar yang menikahi putri dari Sunan Giri kemudian bergelar Sunan Serabut. Tetapi Islam baru menjadi agama negara pada tahun 1526 pada masa kekuasaan Sultan Suryanullah atau Sultan Suriansyah. Aksara Arab-Melayu telah digunakan sebelum berdirinya Kesultanan Banjar.

Karena kemelut di Kuripan/Negara Daha, beberapa tumenggung melarikan diri ke negeri Paser di perbatasan Kerajaan Kutai Kartanegara dan kemudian mendirikan Kerajaan Sadurangas di daerah tersebut.

Peninggalan Kerajaan Negara Daha dapat dilihat Kota Negara (Daha) dan Amuntai

3.    Kerajaan Negara Dipa
Kerajaan ini dikenal sebagai penghasil intan pada zamannya.  Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Kerajaan ini adalah pendahulu Kerajaan Negara Daha. Kerajaan Negara Daha terbentuk karena perpindahan ibukota kerajaan dari Amuntai (ibukota Negara-Dipa di hulu) ke Muhara Hulak (di hilir). Sejak masa pemerintahan Lambung Mangkurat wilayahnya terbentang dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting.
Artefak yang ditemukan di situs Candi Laras koleksi Museum Lambung Mangkurat.

Kerajaan Negara Dipa memiliki daerah-daerah bawahan yang disebut Sakai, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Mantri Sakai. Sebuah pemerintahan Sakai kira-kira sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) pada masa Kesultanan Banjar. Salah satu negeri bawahan Kuripan adalah Negara Dipa. Menurut Hikayat Banjar, Negara Dipa merupakan sebuah negeri yang didirikan Ampu Jatmika yang berasal dari Keling (Coromandel). Menurut Veerbek (1889) Keling, propinsi Majapahit di barat daya Kediri.Menurut Paul Michel Munos dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Senanjung Malaysia, hal 401 dan 435, Empu Jamatka (maksudnya Ampu Jatmika) mendirikan pada tahun 1387, dia berasal dari Majapahit. Diduga Ampu Jatmika menjabat sebagai Sakai di Negara Dipa (situs Candi Laras)(Margasari). Ampu Jatmika bukanlah keturunan bangsawan dan juga bukan keturunan raja-raja Kuripan, tetapi kemudian dia berhasil menggantikan kedudukan raja Kuripan sebagai penguasa Kerajaan Kuripan yang wilayahnya lebih luas tersebut, tetapi walau demikian Ampu Jatmika tidak menyebut dirinya sebagai raja, tetapi hanya sebagai Penjabat Raja (pemangku). Penggantinya Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) setelah bertapa di sungai berhasil memperoleh Putri Junjung Buih yang kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini sengaja dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang Pangeran yang sengaja dijemput dari Majapahit yaitu Raden Putra yang kelak bergelar Pangeran Suryanata I. Keturunan Lambung Mangkurat dan keturunan mereka berdua inilah yang kelak sebagai raja-raja di Negara Dipa.

Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984)

Kerajaan Negara Dipa semula beribukota di Candi Laras (Distrik Margasari) dekat hilir sungai Bahan tepatnya pada suatu anak sungai Bahan, kemudian ibukotanya pindah ke hulu sungai Bahan yaitu Candi Agung (Amuntai), kemudian Ampu Jatmika menggantikan kedudukan Raja Kuripan (negeri yang lebih tua) yang mangkat tanpa memiliki keturunan, sehingga nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibukota waktu itu berada di Candi Agung yang terletak di sekitar hulu sungai Bahan (sungai Negara) yang bercabang menjadi sungai Tabalong dan sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan (sungai kecil anak sungai Negara).

·      Raja Negara Dipa
1.      Periode Raja-raja Kuripan yang tidak diketahui nama penguasa dan masa pemerintahannya. Kerajaan Kuripan ini disebutkan dalam Hikayat Banjar Resensi II.
2.      Ampu Jatmaka gelar Maharaja di Candi, saudagar kaya dari Keling pendiri Negara Dipa tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras di hilir kemudian mendirikan (atau menaklukan) negeri Candi Agung di hulu di sebalik negeri Kuripan. Ampu Jatmaka sebagai penerus ayah angkatnya raja tua Kerajaan Kuripan [raja negeri lama yang berdiri sebelumnya] yang tidak memiliki keturunan, tetapi Ampu Jatmaka mengganggap dirinya hanya sebagai Penjabat Raja. Ketiga negeri/distrik ini dan ditambah negeri Batung Batulis dan Baparada (Balangan) yang muncul di dalam Hikayat Banjar Resensi II teks Cense, maka inilah wilayah awal Negara Dipa. Kemudian Empu Jatmika memerintahkan Tumenggung Tatahjiwa memperluas wilayah dengan menaklukan batang Tabalong, batang Balangan dan batang Pitap. Ia jua memerintahkan Arya Megatsari menaklukan batang Alai, batang Labuan Amas dan batang Amandit. Widuga wilayah inilah yang menjadi ibukota baru Tanjungpura di negara bagian Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina).
3.      Lambung Mangkurat [logat Banjar untuk Lembu Mangkurat] bergelar Ratu Kuripan, putera Ampu Jatmika (sebagai Penjabat Raja). Ia berhasil memperluas wilayah kerajaan dari Tanjung Silat/Selatn sampai Tanjung Puting yaitu wilayah dari sungai Barito sampai sungai Seruyan.
4.      Raden Galuh Ciptasari alias Putri Ratna Janggala Kadiri gelar anumerta Putri Junjung Buih [perwujudan putri buih/putri bunga air menurut mitos Melayu] yaitu puteri angkat Lambung Mangkurat, diduga Ratu I ini berasal dari Majapahit yang disebut Bhre Tanjungpura. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464 adalah puteri Bhre Tumapel II 1389-1427 [abangnya Suhita] dengan istrinya Bhre Lasem V. Bhre Tanjungpura [Bhre Kalimantan] dan Bhre Pajang III Sureswari 1429-1450 [adik bungsu Manggalawardhani] keduanya menjadi istri Bhre Paguhan III 1400-1440 [ayahnya Sripura] tetapi perkawinan ini tidak memiliki keturunan (menurut Pararaton). Diduga Bhre Tanjungpura menikah lagi dengan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakumara. Menurut Prasasti Trailokyapuri Manggalawardhani adalah Bhre Daha VI 1464-1474 yakni ibu Ranawijaya (janda Sang Sinagara).
5.      Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa gelar anumerta Maharaja Suryanata [perwujudan raja dewa matahari], suami Putri Junjung Buih yang dilamar/didatangkan dari Majapahit dengan persembahan 10 biji intan. Raja ini berhasil menaklukan raja Sambas, raja Sukadana/Tanjungpura, orang-orang besar/penguasa Batang Lawai (sungai Kapuas), orang besar/penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, raja Kutai, orang besar Berau dan raja Karasikan. Menurut Hikayat Banjar Versi II, pasangan ini memperoleh tiga putera yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa dan Pangeran Aria Dewangsa [adi-vamsa pengasas dinasti].
Ketiga putera ini memerintah di daerah yang berlainan
(a) Undan Besar dan Undan Kuning,
(b) Undan Kulon dan Undan Kecil
(c) Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis dan Baparada [Batu Piring] serta Kuripan. Setelah beberapa lama memerintah [pada tahun 1464]
Putri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata mengatakan hendak pulang ke tempat asalnya dan pemerintahan dilanjutkan oleh putera-puteranya. Nama Rajasa yang digunakan raja ini kemungkinan kependekan dari Rajasawardhana alias Dyah Wijayakumara alias Sang Sinagara, yaitu putera sulung Bhre Tumapel III Dyah Kertawijaya 1429-1447. Dyah Wijayakumara [Bhre Kahuripan VI] memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir empat orang anak, yaitu Samarawijaya [Bhre Kahuripan VII], Wijayakarana, [Bhre Mataram V], Wijayakusuma (Bhre Pamotan II), dan Ranawijaya (Bhre Kertabhumi, Kartapura Tanjungpura).
6.      Aria Dewangsa putera bungsu Putri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata (Hikayat Banjar versi II), menikahi Putri Mandusari alias Putri Huripan [yang ibunya meninggal ketika melahirkannya] gelar Putri Kabu Waringin [karena minum air susu kerbau putih yang diikat di pohon beringin] yaitu puteri dari Lambung Mangkurat
(Ratu Kuripan) dengan Dayang Diparaja.
7.      Raden Sekar Sungsang, cucu Putri Junjung Buih dan juga cucu Lambung Mangkurat adalah putera dari pasangan Pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin menurut Hikayat Banjar versi II, tetapi menurut Hikayat Banjar versi I adalah cicit Putri Junjung Buih dan juga cicit Lambung Mangkurat. Menurut versi II, Raden Sekar Sungsang [Panji Agung Rama Nata] pernah merantau ke Jawa [dan diduga sudah memeluk Islam] dan di Jawa ia mengawini wanita setempat dan memperoleh dua putera bernama Raden Panji Dekar dan Raden Panji Sekar [yang kemudian bergelar Sunan Serabut karena menikahi puteri Raja Giri]. Sunan Serabut dari Giri inilah yang menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari gelar Ratu Lamak (puteri dari Raden Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih yang menggantikannya sebagai raja). Ratu Lamak kemudian digantikan adiknya Ratu Anom yang pernah ditawan ke Jawa karena gagal membayar upeti.

Menurut Hikayat Banjar versi I, ibu Raden Sekar Sungsang yaitu Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean (Aria Dewangga) sempat menjadi wali raja ketika Raden Sakar Sungsang masih berumur enam tahun sewaktu Maharaja Carang Lalean (Raden Aria Dewangsa) mengatakan bahwa ia hendak pulang ke tempat asalnya (dan jika raja ini putera Manggalawardhani maka kemungkinan kepulangannya ke tempat asal/Majapahit untuk membantu kakaknya Samarawijaya berperang melawan pamannya Raja Majapahit). Maharaja Carang Lalean kemudian melantik Lambung Mangkurat sebagai pemangku.

Pada masa Maharaja Sari Kaburungan alias Raden Sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota kerajaan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, pusat pemerintahan dipindah ke arah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara Hulak yang kemudian diganti menjadi Negara Daha (sekarang kecamatan Daha Selatan) sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi sungai Negara.

4.    Kerajaan Kuripan
Kerajaan Kuripan, atau disebut pula Kahuripan, adalah kerajaan kuno yang beribukota di kecamatan Danau Panggang, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Kerajaan Kuripan berlokasi di sebelah hilir dari negeri Candi Agung (Amuntai Tengah).

·           Sejarah Kerajaan Kuripan

Diduga pusat pemerintahan kerajaan ini berpindah-pindah di sekitar Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong saat ini. Kabupaten Tabalong terletak di sebelah hulu dari Kabupaten Hulu Sungai Utara, karena di kawasan Kabupaten Hulu Sungai Utara sungai Bahan/sungai Negara bercabang ke arah hulunya menjadi dua yaitu daerah aliran sungai Tabalong dan daerah aliran sungai Balangan. Menurut kebiasaan di Kalimantan, penamaan sebuah sungai biasanya berdasarkan nama kawasan yang ada di sebelah hulunya. Karena itu penamaan sungai Tabalong berdasarkan nama daerah yang ada di sebelah hulu dari sungai tersebut, yang pada zaman Hindia Belanda disebut Distrik Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak sungai Bahan, sedangkan sungai Bahan adalah anak sungai Barito yang bermuara ke laut Jawa.
Diduga nama Kerajaan Kuripan sebutan lain dari Kerajaan Tabalong yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pujangga Majapahit yakni Mpu Prapanca pada tahun 1365. Sebutan Kerajaan Tabalong berdasarkan nama kawasan dimana kerajaan tersebut berada. Sedangkan nama Kuripan mungkin nama ibukotanya saat itu. Nama Kuripan diduga adalah nama lama kota Amuntai di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak di sekitar muara sungai Tabalong.

Menurut Tutur Candi, Kerajaan Kahuripan adalah kerajaan yang lebih dulu berdiri sebelum Kerajaan Negara Dipa. Karena raja Kerajaan Kahuripan menyayangi Empu Jatmika sebagai anaknya sendiri maka setelah dia tua dan mangkat kemudian seluruh wilayah kerajaannya (Kahuripan) dinamakan sebagai Kerajaan Negara Dipa, yaitu nama daerah yang didiami oleh Empu Jatmika. (Fudiat Suryadikara, Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu, Depdikbud, 1984

Kerajaan Kuripan ini diduga adalah kerajaan yang sama dengan Kerajaan Tanjungpuri atau Kerajaan Nan Sarunai atau mungkin pula Nan Sarunai adalah bawahan dari Kuripan. Selanjutnya kekuasaan kerajaan orang pribumi kemudian digantikan penguasa baru daerah ini yaitu Dinasti Negara Dipa yang berdarah Majapahit.

Pemerintahan suku Maanyan di kerajaan Nan Sarunai mendapat serangan dari Jawa (Majapahit) sebanyak dua kali yang disebut orang Maanyan dengan istilah Nansarunai Usak Jawa, sehingga suku Maanyan menyingkir ke pedalaman pada daerah yang dihuni suku Lawangan kecuali sebagian yang kemudian bergabung ke dalam pemerintahan orang Majapahit. Diduga serangan yang kedua adalah serangan dari Pangeran Surya Nata I yang telah mengokohkan kedudukannya sebagai Raja Negara Dipa setelah menikah dengan Putri Junjung Buih. Menurut orang Maanyan, kerajaan Nan Sarunai ini telah ada pengaruh Hindu, yaitu adanya pembakaran tulang-tulang dalam upacara kematian suku Maanyan, yang merupakan aliran Hindu-Kaharingan, sebelumnya tidak dikenal pembakaran tulang-tulang dalam agama Kaharingan yang asli. Periode Kerajaan Kuripan/Nan Sarunai ini sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura, sedangkan Periode Negara Dipa sezaman dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yaitu di masa kerajaan Majapahit. Negara Dipa merupakan kerajaan yang multi-etnik yang pertama di Kalimantan Selatan.

E.       Kerajaan-kerajaan Hindu Indonesia yang lainnya
·      Kerajaan di Pulau Jawa
Kerajaan Salakanagara            (150-362)
Kerajaan Tarumanegara           (358-669)
Kerajaan Sunda Galuh            (669-1482)
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Mataram Hindu
Kerajaan Kadiri                       (1042 - 1222)
Kerajaan Singasari                   (1222-1292)
Kerajaan Majapahit                 (1292-1527)

·      Kerajaan di Pulau Sumatera
Kerajaan Malayu Dharmasraya (1183–1347)
Kerajaan Sriwijaya                    (600–1300)


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Dengan demikian kerajaan-kerajaan di indonesia dapat dijadikan dasar kebudayaan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Indonesia mempunyai keanekaragaman kebudayaan.

B.       Saran

Saran untuk pembaca agar dapat lebih memahami isi makalah ini. Dan dijadikan informasi atau ilmu yang sangat bermanfaat terutama dalam pembahasan tentang kerajaan-kerajaan Hindu yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://afandikusuma.blogspot.com/2011/05/kerajaan-kerajaan-hindu-di-
indonesia.html
http://history55education.wordpress.com/2011/07/20/perkembangan-kerajaan-hindu-di-indonesia/
http://indobeta.com/perkembangan-dan-sejarah-kerajaan-hindu-di-indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Hindu
http://www.anneahira.com/perkembangan-agama-hindu.htm

0 komentar: