BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Hukum waris Islam yang telah dibawa
Nabi Muhammad telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus mengubah
struktur hubungan dalam suatu kekerabatan dan bahkan juga mengubah sistem
pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka.
Sebelum kedatangan Nabi, dalam
masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda
kecuali wanita dalam kalangan elite. Bahkan wanita menjadi sesuatu yang
diwariskan.
Islam merinci dan menjelaskan
melalui Al-Qur’an bagian tiap-tiap ahli waris dengan mewujudkan keadilan di
dalam masyarakat. Meskipun demikian persoalan pembagian harta waris masih
menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping
karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan
kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.
Kekurang pedulian umat Islam terhadap
disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri, bahwa Imam Qurtubi telah
mengisyaratkannya: “Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid”.
Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentang sebab-sebab mendapat warisan
dan ahli waris.
2.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian mawaris ?
2. Apa sebab-sebab mendapatkan warisan
?
3. Apa
sebab-sebab adanya kewarisan menurut tradisi arab jahiliyah ?
3.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian mawaris.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab
mendapatkan warisan.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab adanya kewarisan menurut tradisi
arab jahiliyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mawaris
Secara bahasa mawaris merupakan
bentuk jamak dari kata miras. Artinya harta peninggalan si mayit
yang diwariskan kepada ahli warisnya. Secara istilahnya mawaris, dapat
diartikan dengan ilmu yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang
ditentukannya, serta cara pembagian harta peninggalan tersebut untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya. Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraid.
Untuk memahami ketentuan tentang
mawaris, kita perlu menyimak dalil naqli dalam ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya.
Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
(Q.S. an-nisa’:7).
Selain itu juga ada tiga ayat yaitu
(an-nisa’: 11-12) dan (an-nisa’: 176), yang menjelaskan asas ilmu faraid,
didalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian
waris secara lengkap. Allah tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli
waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan
pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Dia
menetapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dan kehidupan manusia,
meniadakan kedzaliman, agar tidak ada perselisihan-perselisihan diantara
berbagai pihak, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari
hati orang-orang yang lemah. Dengan pembagian harta warisan secara adil,
diharapkan para ahli waris dapat memanfaatkan harta bagiannya secara baik untuk
mencukupi kebutuhan hidup dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Selain
itu, menerapkan hukum mawaris dengan sendirinya berarti telah melaksanakan
hokum Allah yang dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an.
B.
Sebab – Sebab Mendapatkan Warisan
Ada beberapa ketentuan yang
menyebabkan seseorang memiliki hak untuk saling mewarisi. Beberapa ketentuan
tersebut terdiri atas tiga sebab, yaitu:
1. Hubungan darah atau kekerabatan
Hubungan ini dikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu
hubungan keluarga atau orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Seperti
kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Hal ini ditegaskan dalam
ayat yang artinya, “orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S.
al-Anfal:75).
2. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling
mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya
terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang
syarat administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di
Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau
tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi
ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang
tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di
Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak
terpenuhinya secara administrative (hukum positif) akan dapat menimbulkan
kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya
bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi
adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud
dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah
diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi
seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena
selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan
kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang
saksi dan wali.
Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak
raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian
pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.
Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana
termuat dalam surah an-Nisa’ayat 11. Hubungan perkawinan terjadi jika akad
telah dilakukan secara sah antara suami dan istri. Meskipun diantara keduanya
belum pernah melakukan hubungan intim, hak pewaris tetap berlaku. Adapun
pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan
hak waris.
3. Hubungan antara budak dengan yang
memerdekakannya
Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu. Zaman
perbudakan. Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang
yang telah memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan memiliki
kekayaan jika ia mati yang membebaskan budak berhak mendapatkan warisan. Akan
tetapi, jika yang mati adalah yang membebaskannya, budak yang telah bebas
tersebut tetap tidak berhak mendapat warisan. Sebagaiman hadis berbunyi,”Hak
wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R.
Bukhari dan Muslim).
C.
Ketentuan Ahli Waris
Ahli waris yang ditinggal mati
pewaris mungkin saja jumlahnya sangat banyak. Selain itu, antara mereka
masing-masing mungkin memiliki derajat atau tingkatan yang berbeda-beda.
Derajat ini dapat berdasakan hubungan keturunan, saudara atau perwalian. Oleh
karena itu disini ada beberapa ketentuan tentang ahli waris, yaitu:
1.
Ashabul Furud
Yaitu orang yang berhak mendapatkan
harta warisan dengan besar bagian yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan
Hadis Rasullullah SAW. Yang akan mendapatkan bagian dari harta warisan sebanyak
25 orang yaitu 15 dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
a.
Pihak laki-laki
1.
Anak laki-laki dari yang meninggal
2. Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu dari pihak anak
laki-laki, terus dalam garis kebawahsepanjang pertaliannya melalui keturunan
laki-laki)
3.
Ayah
4.
Kakek (ayah dari ayah), terus dalm garis keatas sepanjang
pertaliannya melalui keturunan laki-laki
5.
Saudara laki-laki (seibu sebapak)
6.
Saudara laki-laki (sebapak saja)
7.
Saudara laki-laki (seibu saja)
8.
Kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu
sebapak)
9.
Kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang
sebapak saja)
10.
Paman (saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak)
11.
Paman (saudara laki-laki bapak yang sebapak saja)
12.
Sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang seibu sebapak)
13.
Sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang sebapak saja)
14.
Suami
15.
Laki-laki yang memerdekakan si mayit dari perbudakan (yaitu mantan
majikannya), jika si mayit tidak meninggalkan ahli waris.
b.
Pihak Perempuan
1.
Anak perempuan
2. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya dalam
garis kebawah, sepanjang pertaliannya dengan si mayit masih melalui kerabat
laki-laki saja.
3.
Ibu
4.
Nenek (ibu dari bapak)
5.
Nenek (ibu dari ibu)
6.
Saudara perempuan yang seibu sebapak.
7.
Saudara perempuan yang sebapak saja.
8.
Saudara perempuan yang seibu saja.
9.
Istri.
10.
Perempuan yang memerdekakan si mayit dari perbudakan (yaitu
mantan majikannya), jika si mayit tidak meninggalkan ahli waris.
Apabila semua ahli waris, baik dari
pihak laki-laki maupun perempuan ada, yang berhak mendapat warisan yaitu:
1.
Ibu
2.
Bapak
3.
Anak laki-laki
4.
Anak perempuan
2.
‘Asabah (penerima sisa bagian)
‘Asabah berarti ahli waris yang
menerima sisa bagianharta atau yang menghabiskanseluruh harta warisan jika
ashabul furudnya tidak ada. Jika ada ashabul furudnya maka ‘asabah hanya
mendapatkan sisa harta yang masih ada, tetapi bias juga tidak akan
mendapatkanbagian sama sekali.
Ahli waris ‘asabah ada tiga macam,
yaitu: ‘asabah binafsih atau sabah dengan dirinya sendiri, ‘asabah
bil gair atau melalui perantara orang lain, dan ‘asabah ma’al gair atau
asabah bersama-sama orang lain.
1.
Kelompok ‘asabah binafsi
a.
Anak laki-laki
b.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Bapak
d.
Kakek
e.
Saudara laki-laki sekandung
f.
Saudara laki-laki sebapak
g.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
h.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
i.
Paman yang sekandung dengan bapak
j.
Paman yang sebapak dengan bapak
k.
Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan bapak
l.
Anak laki-laki dari paman sebapak
m.
Orang yang memerdekakan orang yang meninggal
2.
Kelompok ‘asabah bil gair
a.
Anak perempuan bersama anak laki-laki
b.
Cucu perrempuan bersama cucu laki-laki
c.
Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki
sekandung
d.
Saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak
3.
Kelompok ‘asabah ma’al gair
a.
Saudara perempuan sekandung, seorang atau lebih bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki baik seorang atau lebih.
b.
Saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih bersama anak
perempuan atau cucu perempuan seorang atau lebih.
D. Sebab – Sebab Adanya Kewarisan
Menurut Tradisi Arab Jahiliyah
Pada zaman jahiliyah, sebab-sebab mewarisi
ada tiga macam, yaitu :
a.
Adanya pertalian kerabat (qarabah)
Pertalian kerabat yang menyebabkan
seorang ahli waris dapat menerima waris adalah mereka yang laki-laki dan kuat
fisiknya. Implikasinya, wanita dan anak-anak tidak mendapatkan bagian warisan.
Dengan demikian para ahli waris dari golongan kerabat semuanya terdiri dari
kaum laki-laki, yaitu :
1.
Anak laki-laki
2.
Saudara laki-laki
3.
Paman
b.
Adanya janji prasetia (muhalafah)
Janji prasetia dijadikan dasar
pewarisan dalam masyarakat jahiliyah. Adapun isi janji prasetia tersebut
intinya adalah sebagai berikut :
“Darahku darahmu, pertumpahan
darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjunganmu, perangku perangmu,
damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut
darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan
membayar denda sebagai pengganti nyawamu.
Perjanjian (prasetia ) tidak mesti
sama persis dengan redaksi tersebut. Tetapi paling tidak harus memuat
pernyataan (ungkapan) yang menyatakan antara mereka akan saling tolong menolong
dan atau saling mewarisi.
Sebagai akibat dari adanya
perjanjian tersebut adalah, jika salah seorang diantara keduanya meninggal,
maka yang masih hidup berhak mewarisi hartanya. Adapun bagiannya adalah 1/6
(seperenam) dari harta peninggalan si mati. Pelaksanaannya didahulukan, setelah
itu dibagikan kepada ahli waris lain.
Bagaimanakah pewarisan berdasarkan
janji prasetia setelah diturunkan ayat-ayat kewarisan? Sebagian mufassirin yang
menyatakan bahwa ayat-ayat al-Quran muhkamah, tidak ada yang mansukh,
membenarkan pewarisan karena janji prasetia, berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 33
;
Bagi setiap harta peninggalan yang
ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, kami adakan
pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang telah berjanji prasetia
dengan kamu, berikanlah bagian mereka. (Q.S. An-Nisa’ : 33).
Berdasarkan ayat tersebut bagi
mufassirin yang menyatakan tidak ada ayat yang menasakh ayat tersebut, terhadap
orang yang mengadakan perjanjian (janji prasetia) bagi mereka adanya hak saling
mewarisi.
Dalam tradisi jahiliyah,
pengangkatan anak merupakan perbuatan yang lazim. Status anak angkat disamakan
kedudukannya dengan anak kandung.
Anak angkat tersebut jika sudah
dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mewarisi harta peninggalan
bapak angkatnya. Lebih dari itu, hubungan kekeluargaan
dengan orang tua dan saudara kandungnya terputus, sehingga tidak bisa saling
mewarisi antara mereka.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Hukum Kewarsa Islam bersumber dari Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad agar diamalkan
oleh umat islam. Al-Qur’an kadang-kandang berisi tentang pokok-pokoknya saja
tentang kewarisan yang membutuhkan penjelasan serta contoh yang diberikan oleh
Rasullullah. Berhubung peristiwa alam yang semakin berkembang, sedangkan contoh
yang diberikan Rasul sangat sedikit karena usianya yang pendek , maka perlu
seseorang berijtihat dari Al-Qur’an dan hadis itu untuk mengalirkan garis hokum
baru pada peristiwa itu.
2.
Hukum kewarisan islam pengertiannya terbatas pada peralihan
harta dari yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, semata-mata
akibat meninggal dunia itu. Garis pokok-pokok hukum kewarisan islam ditetapkan
oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dengan sunnah Rasullulllah.
0 komentar:
Posting Komentar