Personal

Minggu, 19 Mei 2013

SEBAB – SEBAB MAWARIS


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Hukum waris Islam yang telah dibawa Nabi Muhammad telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus mengubah struktur hubungan dalam suatu kekerabatan dan bahkan juga mengubah sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka.
Sebelum kedatangan Nabi, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda kecuali wanita dalam kalangan elite. Bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan.
Islam merinci dan menjelaskan melalui Al-Qur’an bagian tiap-tiap ahli waris dengan mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Meskipun demikian persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurang pedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri, bahwa Imam Qurtubi telah mengisyaratkannya: “Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid”. Dan dalam makalah ini kami akan membahas tentang sebab-sebab mendapat warisan dan ahli waris.

2.       Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian mawaris ?
2.    Apa sebab-sebab mendapatkan warisan ?
3.    Apa sebab-sebab adanya kewarisan menurut tradisi arab jahiliyah ?
3.      Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian mawaris.
2.    Untuk mengetahui sebab-sebab mendapatkan warisan.
3.    Untuk mengetahui sebab-sebab adanya kewarisan menurut tradisi arab jahiliyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Mawaris
Secara bahasa mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miras. Artinya harta peninggalan si mayit yang diwariskan kepada ahli warisnya. Secara istilahnya mawaris, dapat diartikan dengan ilmu yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang ditentukannya, serta cara pembagian harta peninggalan tersebut untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraid.
Untuk memahami ketentuan tentang mawaris, kita perlu menyimak dalil naqli dalam ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. an-nisa’:7).
Selain itu juga ada tiga ayat yaitu (an-nisa’: 11-12) dan (an-nisa’: 176), yang menjelaskan asas ilmu faraid, didalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Allah tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Dia menetapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dan kehidupan manusia, meniadakan kedzaliman, agar tidak ada perselisihan-perselisihan diantara berbagai pihak, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah. Dengan pembagian harta warisan secara adil, diharapkan para ahli waris dapat memanfaatkan harta bagiannya secara baik untuk mencukupi kebutuhan hidup dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Selain itu, menerapkan hukum mawaris dengan sendirinya berarti telah melaksanakan hokum Allah yang dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an.

B.       Sebab – Sebab Mendapatkan Warisan
Ada beberapa ketentuan yang menyebabkan seseorang memiliki hak untuk saling mewarisi. Beberapa ketentuan tersebut terdiri atas tiga sebab, yaitu:
1.    Hubungan darah atau kekerabatan
Hubungan ini dikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu hubungan keluarga atau orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Hal ini ditegaskan dalam ayat yang artinya, “orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Anfal:75).

2.    Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative (hukum positif) akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali.
Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.
Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana termuat dalam surah an-Nisa’ayat 11. Hubungan perkawinan terjadi jika akad telah dilakukan secara sah antara suami dan istri. Meskipun diantara keduanya belum pernah melakukan hubungan intim, hak pewaris tetap berlaku. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

3.    Hubungan antara budak dengan yang memerdekakannya
Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu. Zaman perbudakan. Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang yang telah memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan memiliki kekayaan jika ia mati yang membebaskan budak berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika yang mati adalah yang membebaskannya, budak yang telah bebas tersebut tetap tidak berhak mendapat warisan. Sebagaiman hadis berbunyi,”Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R. Bukhari dan Muslim).

C.      Ketentuan Ahli Waris
Ahli waris yang ditinggal mati pewaris mungkin saja jumlahnya sangat banyak. Selain itu, antara mereka masing-masing mungkin memiliki derajat atau tingkatan yang berbeda-beda. Derajat ini dapat berdasakan hubungan keturunan, saudara atau perwalian. Oleh karena itu disini ada beberapa ketentuan tentang ahli waris, yaitu:
1.    Ashabul Furud
Yaitu orang yang berhak mendapatkan harta warisan dengan besar bagian yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasullullah SAW. Yang akan mendapatkan bagian dari harta warisan sebanyak 25 orang yaitu 15 dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
a.    Pihak laki-laki
1.         Anak laki-laki dari yang meninggal
2.     Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu dari pihak anak laki-laki, terus dalam garis kebawahsepanjang pertaliannya melalui keturunan laki-laki)
3.         Ayah
4.         Kakek (ayah dari ayah), terus dalm garis keatas sepanjang pertaliannya melalui keturunan laki-laki
5.         Saudara laki-laki (seibu sebapak)
6.         Saudara laki-laki (sebapak saja)
7.         Saudara laki-laki (seibu saja)
8.         Kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak)
9.         Kemenakan (anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja)
10.     Paman (saudara laki-laki bapak yang seibu sebapak)
11.     Paman (saudara laki-laki bapak yang sebapak saja)
12.     Sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang seibu sebapak)
13.     Sepupu (anak laki-laki dari paman ayah yang sebapak saja)
14.     Suami
15.     Laki-laki yang memerdekakan si mayit dari perbudakan (yaitu mantan majikannya), jika si mayit tidak meninggalkan ahli waris.

b.    Pihak Perempuan
1.         Anak perempuan
2.       Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya dalam garis kebawah, sepanjang pertaliannya dengan si mayit masih melalui kerabat laki-laki saja.
3.         Ibu
4.         Nenek (ibu dari bapak)
5.         Nenek (ibu dari ibu)
6.         Saudara perempuan yang seibu sebapak.
7.         Saudara perempuan yang sebapak saja.
8.         Saudara perempuan yang seibu saja.
9.         Istri.
10.     Perempuan yang memerdekakan si mayit dari perbudakan (yaitu mantan majikannya), jika si mayit tidak meninggalkan ahli waris.
Apabila semua ahli waris, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan ada, yang berhak mendapat warisan yaitu:
1.    Ibu
2.    Bapak
3.    Anak laki-laki
4.    Anak perempuan

2.    ‘Asabah (penerima sisa bagian)
‘Asabah berarti ahli waris yang menerima sisa bagianharta atau yang menghabiskanseluruh harta warisan jika ashabul furudnya tidak ada. Jika ada ashabul furudnya maka ‘asabah hanya mendapatkan sisa harta yang masih ada, tetapi bias juga tidak akan mendapatkanbagian sama sekali.
Ahli waris ‘asabah ada tiga macam, yaitu: ‘asabah binafsih atau sabah dengan dirinya sendiri, ‘asabah bil gair atau melalui perantara orang lain, dan ‘asabah ma’al gair atau asabah bersama-sama orang lain.
1.    Kelompok ‘asabah binafsi
a.    Anak laki-laki
b.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.    Bapak
d.   Kakek
e.    Saudara laki-laki sekandung
f.     Saudara laki-laki sebapak
g.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
h.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
i.      Paman yang sekandung dengan bapak
j.      Paman yang sebapak dengan bapak
k.    Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan bapak
l.      Anak laki-laki dari paman sebapak
m.  Orang yang memerdekakan orang yang meninggal

2.    Kelompok ‘asabah bil gair
a.    Anak perempuan bersama anak laki-laki
b.    Cucu perrempuan bersama cucu laki-laki
c.    Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
d.   Saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak
3.    Kelompok ‘asabah ma’al gair
a.    Saudara perempuan sekandung, seorang atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki baik seorang atau lebih.
b.    Saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan seorang atau lebih.

D.      Sebab – Sebab Adanya Kewarisan Menurut Tradisi Arab Jahiliyah
Pada zaman jahiliyah, sebab-sebab mewarisi ada tiga macam, yaitu :
a.    Adanya pertalian kerabat (qarabah)
Pertalian kerabat yang menyebabkan seorang ahli waris dapat menerima waris adalah mereka yang laki-laki dan kuat fisiknya. Implikasinya, wanita dan anak-anak tidak mendapatkan bagian warisan. Dengan demikian para ahli waris dari golongan kerabat semuanya terdiri dari kaum laki-laki, yaitu :
1.    Anak laki-laki
2.    Saudara laki-laki
3.    Paman
4.    Anak paman.

b.    Adanya janji prasetia (muhalafah)
Janji prasetia dijadikan dasar pewarisan dalam masyarakat jahiliyah. Adapun isi janji prasetia tersebut intinya adalah sebagai berikut :
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjunganmu, perangku perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu.
Perjanjian (prasetia ) tidak mesti sama persis dengan redaksi tersebut. Tetapi paling tidak harus memuat pernyataan (ungkapan) yang menyatakan antara mereka akan saling tolong menolong dan atau saling mewarisi.
Sebagai akibat dari adanya perjanjian tersebut adalah, jika salah seorang diantara keduanya meninggal, maka yang masih hidup berhak mewarisi hartanya. Adapun bagiannya adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan si mati. Pelaksanaannya didahulukan, setelah itu dibagikan kepada ahli waris lain.
Bagaimanakah pewarisan berdasarkan janji prasetia setelah diturunkan ayat-ayat kewarisan? Sebagian mufassirin yang menyatakan bahwa ayat-ayat al-Quran muhkamah, tidak ada yang mansukh, membenarkan pewarisan karena janji prasetia, berdasarkan surat an-Nisa’ ayat 33 ;
Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, kami adakan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang telah berjanji prasetia dengan kamu, berikanlah bagian mereka. (Q.S. An-Nisa’ : 33).
Berdasarkan ayat tersebut bagi mufassirin yang menyatakan tidak ada ayat yang menasakh ayat tersebut, terhadap orang yang mengadakan perjanjian (janji prasetia) bagi mereka adanya hak saling mewarisi.

c.    Adanya pengangkatan anak (tabanny atau adopsi)
Dalam tradisi jahiliyah, pengangkatan anak merupakan perbuatan yang lazim. Status anak angkat disamakan kedudukannya dengan anak kandung.
Anak angkat tersebut jika sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mewarisi harta peninggalan bapak angkatnya. Lebih dari itu, hubungan kekeluargaan dengan orang tua dan saudara kandungnya terputus, sehingga tidak bisa saling mewarisi antara mereka.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.    Hukum Kewarsa Islam bersumber dari Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad agar diamalkan oleh umat islam. Al-Qur’an kadang-kandang berisi tentang pokok-pokoknya saja tentang kewarisan yang membutuhkan penjelasan serta contoh yang diberikan oleh Rasullullah. Berhubung peristiwa alam yang semakin berkembang, sedangkan contoh yang diberikan Rasul sangat sedikit karena usianya yang pendek , maka perlu seseorang berijtihat dari Al-Qur’an dan hadis itu untuk mengalirkan garis hokum baru pada peristiwa itu.
2.    Hukum kewarisan islam pengertiannya terbatas pada peralihan harta dari yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, semata-mata akibat meninggal dunia itu. Garis pokok-pokok hukum kewarisan islam ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dengan sunnah Rasullulllah.

0 komentar: