Personal

Jumat, 12 Juli 2013

HUKUM ADAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai budaya dan suku didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum yang berbeda pula.Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia mengadopsi berbagai produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa system hukum yang berlaku di Indonesia adalah system hukum yang majemuk yaitu hukum Adat, Islam dan Barat (kontinental). Mungkin dari ketiga hukum tersebut dipandang representative dalam menegakkan keadilan dan menjawab persoalan-persoalan yang sangat kompleks untuk konteks sekarang dan yang akan datang.

Dibawah ini kami akan lebih khusus menulis tentang hukum perkawinan adat dan macam-macamnya, asas-asas, sistem hukum adat, tujuan hukum adat, adat pertunangan serta permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat seperti perceraian dan sebagainya. Semoga dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan kontribusi pada pemikiran hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perkawinan adat pada khususnya.

B.       Perumusan Masalah.
Dari uraian diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana bentuk hukum adat perkawinan?
2.      Bagaimana bentuk asas-asas hukum adat perkawinan?
3.      Bagaimana bentuk sistem hukum adat dan tujuan hukum adat perkawinan?
4.      Bagaimana bentuk prinsip dan azaz hukum adat pertunangan?
5.      Bagaimana bentuk permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat perkawinan?

C.      Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui bentuk hukum adat perkawinan
2.    Mengetahui bentuk asas-asas hukum adat perkawinan
3.    Mengetahui bentuk sistem hukum adat dan tujuan hukum adat perkawinan
4.    Mengetahui bentuk prinsip dan azaz hukum adat pertunangan
5.    Mengetahui bentuk permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat perkawinan


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hukum Adat
Hukum adat adalah hukum yang menjadi kebiasaan masyarakat yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara yang satu dengan yang lain dan terdapat sanksi didalamnya biasanya berupa moral. Hukum adat telah lama berlaku di tanah air kita adapun kapan mulai berlakunya tidak dapat ditentukan secara pasti, tapi dapat diperkirakan hukum tersebut berkembang sudah lama dan tertua umurnya sebelum tahun 1927 keadaanya masih biasa saja dan apa adanya.
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing .Dalam masyarakat adat perkawinan merupakan bagian peristiwa yang sakral sehingga dalam pelaksanaannya harus ada keterlibatan arwah nenek moyang untuk dimintai do’a restu agar hidupnya kelak jadi keluarga yang bahagia.Sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari uraian bahwa hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara perkawinan yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sangsi didalamnya.

B.       Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat
Sering kali disinggungkan dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun khusus.  Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.

C.      Asas-asas dalam Hukum Perkawinan Adat
Dalam masyarakat adat, hukum perkawinan mempunyai asas-asas atau bentuk yang menjadi parameter masyarakat dalam melaksanakan hukum tersebut, masing-masing daerah mempunyai aturan sendiri dan berbeda-beda sesuai kesepakatan dan kebiasaan setempat, biasanya hukum adat mempunyai sumber pengenal sesuai apa yang terjadi dan benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum dan berasal dari segala gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat tertentu. terkadang juga eksistensi dari penguasa setempat atau bisa disebut kepala suku atau penguasa adat sangat berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam memberikan keputusan berupa keputusan.

Secara garis besar asas-asas dalam hukum adat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1)    Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan
a.    Pertunangan
Seperti yang kita ketahui dan melihat ada tahapan sebelum perkawinan itu dilaksanakan, yang dimaksud tahap tersebut adalah pertunangan, tahap ini dilakukan awal kali pertemuan setelah ada persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga pihak suami dan pihak keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan, dan mempunyai sifat yang mengikat. Tujuan dari pertunangan ini adalah untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak dan menjamin perkawinan akan berlangsung dalam waktu dekat.
b.    Tanpa lamaran dan tanpa pertunangan
Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan.Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal.Namun dalam matrilineal dan patrilineal (garis ibu-bapak) juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, kalimantan, bali, sulawesi selatan. Mereka mempunyai tujuan tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan diri dari pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti memberi hadiah, atau paningset dan sebagainya.

2)    Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan
a.    Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu).
Setelah kawin, suami tetap masuk pada keluarganya sendiri.Pada prosesnya calon suami di jemput dari rumahnya kemudian tinggal dan menetap di rumah keluarga istri, tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga istri dan si ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.Karena rumah tangga suami istri dan anak-anak keturunannya dibiayai dari milik kerabat si istri.
b.    Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak).
Sifat utama dari perkawinan ini adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan persekutuannya. Setelah perkawinan si istri masuk dalam lingkungan keluarga suami begitu juga anak-anak keturunannya.

Sistem jujur ini tidak lantas kemudian difahami sebagaimana yang difahami oleh para etnolog barat yaitu sebagai ”pembelian” tetapi sesuai dengan pengertian etnolog hukum adat yang murni, maka jujur itu adalah suatu “penggantian” memahami bahwa kedudukan gadis itu dalam pengertian religio-magis-kosmis, diganti dengan suatu benda sehingga terjaga keseimbangan, tidak mengosongkan arti religio-magis-kosmis tersebut.

Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian yaitu pada sisi yuridis akan terjadi perubahan status, pada sisi sosial (politis), perkawinan tersebut akan mempererat hubungan antar kerabat, hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan sedangkan yang ketiga yaitu dari sisi ekonomis adanya pertukaran barang .
c.    Dalam sifat susunan kekeluargaan parental (garis keturunan Keibu-Bapak-an).
Setelah perkawinan baik si istri maupun suami menjadi milik keluarga bersama begitu juga anak-anak dan keturunannya.Dalam sifat ini juga terdapat kebiasaan berupa pemberian-pemberian dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, tetapi pemberian disini tidak mempunyai arti seperti jujur, mungkin dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak diartikan sebagai hadiah perkawinan.Hal demikian banyak dijumpai di daerah Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan.

D.      Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat
Dalam perkawinan sekiranya harus ada pengelompokkan berupa system perkawinan agar teridentifikasi system yang digunakan dalam hukum perkawinan adat itu sendiri seperti apa.Di Indonesia selama ini ada tiga system yang berlaku di masyarakat yaitu endogamy, exogami dan eleutherogami.
1)    System Endogamy
Dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena system ini dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem ini masih berlaku di daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan sekali dengan sifat susunan yang ada di daerah itu, yaitu parental.
2)    Sistem Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri.Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam perkembangannya sedikit-sedikit akan mengalami pelunakan dan mendekati eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
3)    System Eleutherogami
Pada system ini tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah seperti halnya pada endogamy dan exogami. System ini hanya menggunakan berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung , saudara bapak atau ibu. 

E.       Prinsip-prinsip dan Azaz-azaz perkawinan menurut Hukum Adat
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga, tetapi juga suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan para anggota kerabat dari pihak suami.Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Selanjutnya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut :
a.    Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
b.    Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
c.    Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
d.   Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
e.    Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
f.     Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
g.    Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga

F.       Upacara Perkawinan
A.Van Genep (Perancis) mengatakan semua upacara-upacara perkawinan “Rites de passage” yaitu upacara-upacara peralihan perubahan status dari kedua mempelai.  Setelah  melalui upacara-upacara  itu  kedua  belah  pihak  menjadi  hidup  bersatu dalam suatu kehidupan bersama suami isteri.
Rites de passage terdiri dari tiga, yaitu :
a.    Rites de separation, yaitu upacara perpisahan dari status semula.
b.    Rites de marge, yaitu upacara perjalanan ke status yang baru.
c.    Rites de aggregation, yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.
1.    Pertunangan
Pertunangan  adalah  suatu persetujuan  antara pihak keluarga  laki-laki dengan keluarga pihak wanita sebelum dilangsungkan suatu perkawinan.
a.    Adanya  lamaran/  meminang  yang  biasanya  dilakukan  oleh  utusan  dari pihak laki-laki.
b.    Adanya  tanda  pengikat  yang  kelihatan,  seperti  peningset  (Jawa), panyangcang (Sunda), biasanya dengan pertukaran cincin.
Alasan pertunangan biasanya adalah :
·      untuk menjamin perkawinan.
·      untuk membatasi pergaulan bebas
·      memberi kesempatan untuk saling mengenal

2.    Perkawinan
Perkawinan  dalam  hukum  adat  sangat  dipengaruhi  oleh  sifat  dari  pada susunan  kekeluargaan.  Susunan  kekeluargaan  dikenal  ada  beberapa macam,yaitu :
a.    Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilineal :
·      Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”
·      Pemberian  jujur  dari  pihak  laki-laki  melambangkan  diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
·      Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
·      Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal di rumah suaminya dengan  saudara  muda  dari  almarhum  seolah-olah  seorang  isteri  itu diwarisi oleh adik almarhum.
b.    Perkawinan dalam keluarga Matrilineal :
·      Dalam upacara perkawianan mempelai laki-laki diljemput
·      Suami berdiam di rumah isterinya, tetapi suami tetap dapa keluarganya sendiri.
·      Anak-anak masuk dalam  clan  isterinya dan  si ayah  tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
c.    Perkawinan dalam keluarga Parental :
setelah  kawin  keduanya menjadi  satu  keluarga,  baik  keluarga  suami maupun keluarga isteri.

Dengan  demikian  dalam  susunan  kekeluargaan  parental  suami  dan  isteri masing-masing  mempunyai  dua  keluarga  yaitu  kelurga  suami  dan  keluarga isteri.

G.      Kedudukan Harta Dalam Perkawinan
Untuk memenuhi keperluan hidup rumah tangga, diperlukan harta kekayaan yang disebut harta perkawinan atau harta keluarga.
Harta perkawinan atau harta keluarga dapat dibedakan dalam 4 golongan, yaitu :
1.    Barang-barang yang diperoleh secara warisan atau penghibahan.
·      Barang-barang ini tetap milik  suami  atau  isteri  yang menerima warisan atau penghibahan.
·      Barang-barang ini hanya jatuh kepada anak-anak mereka sebagai warisan.
·      Kalau terjadi perceraian dan apabila tidak mempunyai anak, maka barang-barang ini kembali kepada asalnya.
2.    Barang-barang yang diperoleh atas jasa sendiri
·      Barang-barang ini diperoleh suami atau isteri sebelum kawin
3.    Barang-barang diperoleh dalam masa perkawinan
·      Kekayaan milik bersama disebut :
·      Harta suarang (Minangkabau)
·      Barang perpantangan (Kalimantan)
·      Barang cakkara (Bugis)
·      Harta gonogini (Jawa)
·      Guna kaya, campura kaya, barang sekaya (Sunda)
4.    Milik  bersama  isteri  adalah  semua  kekayaan  yang  diperoleh  selama  berlangsungnya perkawinan  asalkan  kedua-duanya  bekerja  kepentingan bersama. Walaupun seorang  isteri hanya bekerja dirumah mengurus anak-anak, mengurus rumah  tangga, sudah dianggap bekerja juga. Semua kekayaan yang diperoleh suami menjadi milik bersama.
·      Semua kekayaan selama  berjalannya  perkawinan, merupakan  harta  gono  gini,  walaupun hanya suami saja yang bekerja.
·      Menurut  hukum  adat  suami  isteri  boleh  melakukan  perbuatan  hukum, misalnya transaksi  jual beli barang-barang  kekayaan dan  dapat  dilakukan  oleh  isteri apabila suami tidak ada ditempat dan isteri disini bukan mewakili suami akan tetapi sebagai pemilik sendiri.  Jadi ia boleh mengambil keputusan sendiri.
·      Hak milik bersama dapat dipakai untuk membayar hutang baik hutang  suami maupun hutang  isteri apabila harta gono-gini  tidak cukup, maka dapat dipakai harta asal.
Pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian :
·      Prinsipnya  milik  bersama  dibagi  antara  kedua  belah  pihak  masing-masing pada umumnya mendapat separuh.
·      Ada  beberapa  daerah  yang mempunyai  kebiasaan  sedemikian  rupa  sehingga suami lebih  besar  dari  pada  isterinya  yaitu  dua-  pertiga  untuk  suami  dan sepertiga untuk isteri, yang disebut “sagendong sapikul” (Jawa).
·      Kebiasaan  sagendong  sapikul  lambat  laun  berubah  akibat  kesadaran masyarakat dan masalah ini tidak sesuai dengan kesadaran adanya persamaan hak.
·      Keputusan  Mahkamah  Agung  tangga  25  Pebruari  1959  Reg.  No.  387 K/Sip/1960  menyatakan  bahwa menurut  hukum  adat  yang  berlaku  di  Jawa Tengah seorang janda mendapat separuh dari harta gono gini.
·      Selanjutnya Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 April 1960 Reg. No. 120 K/Sip/1960 menetapkan bahwa  harta  pencaharian  itu  harus  dibagi  sama  rata antara suami isteri.
·      Apabila  salah  seorang  (suami  atau  isteri)  meninggal  biasanya  semua  harta  bersama dibawah kekuasaan yang masih hidup guna keperluan hidupnya.
·      Selama  seorang  janda  belum  kawin  lagi  barang-barang  bersama  dikuasai olehnya  tidak  dapat  dibagi-bagi,  guna  menjamin  hidupnya  (Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Juli 1959 Reg. No. 189 K/Sip/1959).

H.      Perceraian dalam Hukum Adat
Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan selama-lamanya atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai kaken-kaken, ninen-ninen artinya sampai si suami menjadi kaki (kakek) dan si istri menjadi ninik (nenek) yaitu orang yang sudah bercucu dan becicit (Djodjodigoeno, 1957: 56).
Namun idealisme yang demikian ini di dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujukan, perceraian atau putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat, dan putusan hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena didorong oleh kepentingan kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan terjadinya perceraian adalah oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan membawa suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami)- (Payug Bangun 1976: 105).
Alasan-alasan terjadinya perceraian itu sangatlah bervariasi. Tetapi dari variasi itu terdapat hal yang sama, yaitu pada umumnya alasan daripada terjadinya perceraian adalah karena zinah yang dilakukan oleh pihak istri. Selain alasan umum di atas juga ada alasan-alasan lain, yaitu:
       Tidak memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari jabul asal 
       suaminya- Batak).
·           Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sunggu dipertahankan 
           lagi (Lampung).
·          Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga mereka 
(          Aceh).

Mahkamah Agung berpendapat bahwa menurut hukum adat pada umumnya dan menurut hukum Adat setempat (Batak-Karo), perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakukan-kelakuan yang tidak baik dari pihak suami. Menurut Mahkamah Agung maka pihak isteri dapat memintakan perceraian apabila terdapat alasan yang terakhir ini.(Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963).
Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa perceraian dalam sistem perkawinan adat dapat terjadi sesuai dengan alasan-alasan yang konkrit.Karena perceraian dalam perkawinan banyak terjadi.Sehingga Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi pihak isteri berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang tidak baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh dan seterusnya.


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas sekiranya kita dapat menyimpulkan bahwa di Indonesia berlaku berupa hukum adat yang mengatur bagian perkawinan yang pelaksanaanya berlaku sesuai adat dan kebiasaan suatu tempat tertentu, hukum tersebut tidak di verbalkan secara meluas tetapi mempunyai sifat yang mengikat sesama masyarakat adat tersebut berupa sangsi moral/malu ketika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan hukum tersebut. Berawal dari budaya yang plural sehingga menimbulkan masalah yang kompleks, akhirnya hukum adat diberlakukan di Indonesia agar bisa mewakili dari permasalahan tersebut.Hukum perkawinan adat mengenal kepatutan dan keselarasan dalam pergaulan dan bersifat religio magis, tidak mengenal pembidangan hukum perdata dan hukum publik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam tujuan hukum adat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera serta hidup yang sakinah mawaddah warahmah.Akan tetap dalam perkawinan tidak semua yang menjadi harapan tercapai dengan baik.Adakalanya berakhir dengan perceraian disebabkan oleh suami atau sebaliknya.Dalam hukum Adat perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare tweespalt") dan oleh karena kelakuan-kelakuan yang tidak baik dari pihak suami.Sebagaimana dalam keputusan Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963.bahwa perceraian dapat terjadi apabila sudah tidak memungkinkan hidup rukun dan damai.

0 komentar: