BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Indonesia adalah
negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai budaya dan suku
didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum yang berbeda
pula.Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia mengadopsi berbagai
produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa system hukum yang berlaku di
Indonesia adalah system hukum yang majemuk yaitu hukum Adat, Islam dan Barat
(kontinental). Mungkin dari ketiga hukum tersebut dipandang representative
dalam menegakkan keadilan dan menjawab persoalan-persoalan yang sangat kompleks
untuk konteks sekarang dan yang akan datang.
Dibawah ini kami
akan lebih khusus menulis tentang hukum perkawinan adat dan macam-macamnya,
asas-asas, sistem hukum adat, tujuan hukum adat, adat pertunangan serta
permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat seperti perceraian dan
sebagainya. Semoga dalam pembahasan makalah ini dapat memberikan kontribusi
pada pemikiran hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perkawinan adat pada
khususnya.
B. Perumusan
Masalah.
Dari uraian diatas maka penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
bentuk hukum
adat perkawinan?
2.
Bagaimana
bentuk asas-asas hukum adat perkawinan?
3.
Bagaimana
bentuk sistem
hukum adat dan tujuan
hukum adat perkawinan?
4.
Bagaimana
bentuk prinsip dan azaz hukum adat pertunangan?
5.
Bagaimana
bentuk permasalahan-permasalahan
yang terjadi dalam hukum adat perkawinan?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
bentuk hukum
adat perkawinan
2.
Mengetahui
bentuk asas-asas hukum adat perkawinan
3.
Mengetahui
bentuk sistem
hukum adat dan tujuan
hukum adat perkawinan
4.
Mengetahui
bentuk prinsip dan azaz
hukum adat
pertunangan
5.
Mengetahui
bentuk
permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam hukum adat perkawinan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Adat
Hukum adat adalah
hukum yang menjadi kebiasaan masyarakat yang menjadi tingkah laku sehari-hari
antara yang satu dengan yang lain dan terdapat sanksi didalamnya biasanya
berupa moral. Hukum adat telah lama berlaku di tanah air kita adapun kapan
mulai berlakunya tidak dapat ditentukan secara pasti, tapi dapat diperkirakan
hukum tersebut berkembang sudah lama dan tertua umurnya sebelum tahun 1927
keadaanya masih biasa saja dan apa adanya.
Perkawinan
adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita;
sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai
saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga-keluarga mereka masing-masing .Dalam masyarakat adat perkawinan
merupakan bagian peristiwa yang sakral sehingga dalam pelaksanaannya harus ada
keterlibatan arwah nenek moyang untuk dimintai do’a restu agar hidupnya kelak
jadi keluarga yang bahagia.Sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari uraian
bahwa hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat
dalam melakukan upacara perkawinan yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan
hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu
dan mempunyai sangsi didalamnya.
B.
Tujuan
Perkawinan dalam Hukum Adat
Sering kali disinggungkan dalam pengertian bahwa dalam
masyarakat adat, perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara
umum maupun khusus. Secara umum mempunyai
tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera, secara khusus
dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajen-sesajen atau
persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan mendukung
lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun pada akhirnya
mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan yang bahagia dan
sejahtera dan keluarga yang utuh.
C.
Asas-asas
dalam Hukum Perkawinan Adat
Dalam masyarakat
adat, hukum perkawinan mempunyai asas-asas atau bentuk yang menjadi parameter
masyarakat dalam melaksanakan hukum tersebut, masing-masing daerah mempunyai
aturan sendiri dan berbeda-beda sesuai kesepakatan dan kebiasaan setempat,
biasanya hukum adat mempunyai sumber pengenal sesuai apa yang terjadi dan
benar-benar terlaksana di dalam pergaulan hukum dan berasal dari segala gejala
sosial yang terjadi dalam masyarakat tertentu. terkadang juga eksistensi dari
penguasa setempat atau bisa disebut kepala suku atau penguasa adat sangat
berpengaruh dan mempunyai andil besar dalam memberikan keputusan berupa
keputusan.
Secara garis besar asas-asas dalam
hukum adat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1)
Bentuk perkawinan berdasarkan arah
persiapan
a. Pertunangan
Seperti yang kita ketahui dan
melihat ada tahapan sebelum perkawinan itu dilaksanakan, yang dimaksud tahap
tersebut adalah pertunangan, tahap ini dilakukan awal kali pertemuan setelah
ada persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga pihak suami dan pihak
keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan, dan mempunyai sifat yang
mengikat. Tujuan dari pertunangan ini adalah untuk membatasi pergaulan kedua
belah pihak dan menjamin perkawinan akan berlangsung dalam waktu dekat.
b. Tanpa
lamaran dan tanpa pertunangan
Ada beberapa corak perkawinan yang
tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan.Corak perkawinan yang demikian
kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal.Namun dalam
matrilineal dan patrilineal (garis ibu-bapak) juga ditemukan walaupun hanya
sedikit. Seperti di daerah Lampung, kalimantan, bali, sulawesi selatan. Mereka
mempunyai tujuan tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan diri
dari pelbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti
memberi hadiah, atau paningset dan sebagainya.
2)
Bentuk perkawinan berdasarkan tata
susunan kekerabatan
a. Dalam
sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu).
Setelah kawin, suami tetap masuk
pada keluarganya sendiri.Pada prosesnya calon suami di jemput dari rumahnya
kemudian tinggal dan menetap di rumah keluarga istri, tetapi anak-anak dan
keturunannya masuk keluarga istri dan si ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan
terhadap anak-anaknya.Karena rumah tangga suami istri dan anak-anak
keturunannya dibiayai dari milik kerabat si istri.
b. Dalam
sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak).
Sifat utama dari perkawinan ini
adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang
tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan persekutuannya.
Setelah perkawinan si istri masuk dalam lingkungan keluarga suami begitu juga
anak-anak keturunannya.
Sistem jujur ini tidak lantas
kemudian difahami sebagaimana yang difahami oleh para etnolog barat yaitu
sebagai ”pembelian” tetapi sesuai dengan pengertian etnolog hukum adat yang
murni, maka jujur itu adalah suatu “penggantian” memahami bahwa kedudukan gadis
itu dalam pengertian religio-magis-kosmis, diganti dengan suatu benda sehingga
terjaga keseimbangan, tidak mengosongkan arti religio-magis-kosmis tersebut.
Kawin jujur mengandung tiga segi
pengertian yaitu pada sisi yuridis akan terjadi perubahan status, pada sisi
sosial (politis), perkawinan tersebut akan mempererat hubungan antar kerabat,
hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan sedangkan yang ketiga yaitu
dari sisi ekonomis adanya pertukaran barang .
c.
Dalam sifat susunan kekeluargaan
parental (garis keturunan Keibu-Bapak-an).
Setelah perkawinan baik si istri
maupun suami menjadi milik keluarga bersama begitu juga anak-anak dan
keturunannya.Dalam sifat ini juga terdapat kebiasaan berupa pemberian-pemberian
dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, tetapi pemberian disini tidak
mempunyai arti seperti jujur, mungkin dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih
banyak diartikan sebagai hadiah perkawinan.Hal demikian banyak dijumpai di
daerah Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan.
D.
Sistem
Perkawinan dalam Hukum Adat
Dalam perkawinan
sekiranya harus ada pengelompokkan berupa system perkawinan agar
teridentifikasi system yang digunakan dalam hukum perkawinan adat itu sendiri
seperti apa.Di Indonesia selama ini ada tiga system yang berlaku di masyarakat
yaitu endogamy, exogami dan eleutherogami.
1)
System Endogamy
Dalam
system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya
sendiri, sekarang sudah jarang sekali di Indonesia karena system ini dipandang
sangat sempit dan membatasi ruang gerak orang. Sistem ini masih berlaku di
daerah Toraja, tetapi dalam waktu dekat akan lenyap sebab sangat bertentangan
sekali dengan sifat susunan yang ada di daerah itu, yaitu parental.
2)
Sistem Exogami
Dalam
sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya sendiri.Sistem
ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau. Namun dalam
perkembangannya sedikit-sedikit akan mengalami pelunakan dan mendekati
eleutherogami. Mungkin larangan itu masih berlaku pada lingkungan kekeluargaan
yang sangat kecil saja.
3)
System Eleutherogami
Pada system ini
tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-batasan wilayah seperti
halnya pada endogamy dan exogami. System ini hanya menggunakan berupa
larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan
(nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara
kandung , saudara bapak atau ibu.
E. Prinsip-prinsip dan Azaz-azaz
perkawinan menurut Hukum Adat
Perkawinan
menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria
dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan
membangun serta membina kehidupan rumah tangga, tetapi juga suatu hubungan
hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan para anggota
kerabat dari pihak suami.Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan
kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang
rukun dan damai.
Dengan
terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat
keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut
garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya silsilah yang
menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan
barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Selanjutnya
sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974, maka
azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut :
a.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga
rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
b.
Perkawinan tidak saja harus sah
dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus
mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
c.
Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang
pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing
ditentukan menurut hukum adat setempat.
d.
Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak
kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
e.
Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan
wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah
cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
f.
Perceraian ada yang dibolehkan dan ada
yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat
pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.
g.
Keseimbangan kedudukan antara suami dan
isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang
berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah
tangga
F. Upacara Perkawinan
A.Van Genep (Perancis) mengatakan
semua upacara-upacara perkawinan “Rites de passage” yaitu upacara-upacara
peralihan perubahan status dari kedua mempelai. Setelah melalui upacara-upacara itu
kedua belah pihak
menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama suami
isteri.
Rites de passage terdiri dari tiga,
yaitu :
a.
Rites de separation, yaitu upacara
perpisahan dari status semula.
b.
Rites de marge, yaitu upacara perjalanan
ke status yang baru.
c.
Rites de aggregation, yaitu upacara
penerimaan dalam status yang baru.
1.
Pertunangan
Pertunangan adalah
suatu persetujuan antara pihak
keluarga laki-laki dengan keluarga pihak
wanita sebelum dilangsungkan suatu perkawinan.
a.
Adanya
lamaran/ meminang yang
biasanya dilakukan oleh
utusan dari pihak laki-laki.
b.
Adanya
tanda pengikat yang
kelihatan, seperti peningset
(Jawa), panyangcang (Sunda), biasanya dengan pertukaran cincin.
Alasan
pertunangan biasanya adalah :
· untuk
menjamin perkawinan.
· untuk
membatasi pergaulan bebas
· memberi
kesempatan untuk saling mengenal
2. Perkawinan
Perkawinan dalam hukum adat
sangat dipengaruhi oleh
sifat dari pada susunan
kekeluargaan. Susunan kekeluargaan
dikenal ada beberapa macam,yaitu :
a. Perkawinan
dalam kekeluargaan Patrilineal :
· Corak
perkawinan adalah “perkawinan jujur”
· Pemberian jujur
dari pihak laki-laki
melambangkan diputuskan hubungan
keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
· Isteri
masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
· Apabila
suami meninggal, maka isteri tetap tinggal di rumah suaminya dengan saudara
muda dari almarhum
seolah-olah seorang isteri
itu diwarisi oleh adik almarhum.
b. Perkawinan
dalam keluarga Matrilineal :
· Dalam
upacara perkawianan mempelai laki-laki diljemput
· Suami
berdiam di rumah isterinya, tetapi suami tetap dapa keluarganya sendiri.
· Anak-anak
masuk dalam clan isterinya dan
si ayah tidak mempunyai kekuasaan
terhadap anak-anaknya.
c. Perkawinan
dalam keluarga Parental :
setelah kawin
keduanya menjadi satu keluarga,
baik keluarga suami maupun keluarga isteri.
Dengan demikian
dalam susunan kekeluargaan
parental suami dan
isteri masing-masing
mempunyai dua keluarga
yaitu kelurga suami
dan keluarga isteri.
G.
Kedudukan
Harta Dalam Perkawinan
Untuk memenuhi
keperluan hidup rumah tangga, diperlukan harta kekayaan yang disebut harta
perkawinan atau harta keluarga.
Harta perkawinan atau harta
keluarga dapat dibedakan dalam 4 golongan, yaitu :
1. Barang-barang
yang diperoleh secara warisan atau penghibahan.
· Barang-barang
ini tetap milik suami atau
isteri yang menerima warisan atau
penghibahan.
· Barang-barang
ini hanya jatuh kepada anak-anak mereka sebagai warisan.
· Kalau
terjadi perceraian dan apabila tidak mempunyai anak, maka barang-barang ini
kembali kepada asalnya.
2. Barang-barang
yang diperoleh atas jasa sendiri
· Barang-barang
ini diperoleh suami atau isteri sebelum kawin
3. Barang-barang
diperoleh dalam masa perkawinan
· Kekayaan
milik bersama disebut :
· Harta
suarang (Minangkabau)
· Barang
perpantangan (Kalimantan)
· Barang
cakkara (Bugis)
· Harta
gonogini (Jawa)
· Guna
kaya, campura kaya, barang sekaya (Sunda)
4. Milik bersama
isteri adalah semua
kekayaan yang diperoleh
selama berlangsungnya
perkawinan asalkan kedua-duanya
bekerja kepentingan bersama. Walaupun seorang isteri hanya bekerja dirumah mengurus
anak-anak, mengurus rumah tangga, sudah
dianggap bekerja juga. Semua kekayaan yang diperoleh suami menjadi milik
bersama.
·
Semua kekayaan selama berjalannya
perkawinan, merupakan harta gono
gini, walaupun hanya suami saja yang bekerja.
·
Menurut
hukum adat suami
isteri boleh
melakukan perbuatan hukum, misalnya transaksi jual beli barang-barang kekayaan
dan dapat
dilakukan oleh isteri apabila suami tidak ada ditempat dan
isteri disini bukan mewakili suami akan tetapi sebagai pemilik sendiri. Jadi ia boleh mengambil keputusan sendiri.
·
Hak milik bersama dapat dipakai untuk
membayar
hutang baik hutang suami maupun
hutang isteri apabila harta gono-gini tidak cukup, maka dapat dipakai harta asal.
Pembagian
harta bersama apabila terjadi perceraian :
· Prinsipnya milik
bersama dibagi antara
kedua belah pihak
masing-masing pada umumnya mendapat separuh.
· Ada beberapa
daerah yang mempunyai kebiasaan
sedemikian rupa sehingga suami lebih besar
dari pada isterinya
yaitu dua- pertiga
untuk suami dan sepertiga untuk isteri, yang disebut
“sagendong sapikul” (Jawa).
· Kebiasaan sagendong
sapikul lambat laun
berubah akibat kesadaran masyarakat dan masalah ini tidak
sesuai dengan kesadaran adanya persamaan hak.
· Keputusan Mahkamah
Agung tangga 25
Pebruari 1959 Reg.
No. 387 K/Sip/1960 menyatakan
bahwa menurut hukum adat
yang berlaku di
Jawa Tengah seorang janda mendapat separuh dari harta gono gini.
· Selanjutnya
Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 April 1960 Reg. No. 120 K/Sip/1960
menetapkan bahwa harta pencaharian
itu harus dibagi
sama rata antara suami isteri.
· Apabila salah
seorang (suami atau
isteri) meninggal biasanya
semua harta bersama dibawah kekuasaan yang masih hidup
guna keperluan hidupnya.
· Selama seorang
janda belum kawin
lagi barang-barang bersama
dikuasai olehnya tidak dapat
dibagi-bagi, guna menjamin
hidupnya (Keputusan Mahkamah Agung
tanggal 8 Juli 1959 Reg. No. 189 K/Sip/1959).
H.
Perceraian
dalam Hukum Adat
Pada dasarnya
kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan
itu dapat bertahan selama-lamanya atau meminjam istilah Djodjodigoeno, sampai
kaken-kaken, ninen-ninen artinya sampai si suami menjadi kaki (kakek) dan si
istri menjadi ninik (nenek) yaitu orang yang sudah bercucu dan becicit
(Djodjodigoeno, 1957: 56).
Namun idealisme
yang demikian ini di dalam kenyataannya tidak selalu dapat diwujukan,
perceraian atau putusnya perkawinan dapat terjadi dalam masyarakat, dan putusan
hubungan perkawinan itu dapat terjadi pula karena didorong oleh kepentingan
kerabat dan masyarakat (di Batak misalnya, salah satu alasan terjadinya
perceraian adalah oleh karena hubungan yang tidak baik dengan salah satu atau
beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan membawa suasana yang
memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami)- (Payug Bangun 1976: 105).
Alasan-alasan
terjadinya perceraian itu sangatlah bervariasi. Tetapi dari variasi itu
terdapat hal yang sama, yaitu pada umumnya alasan daripada terjadinya
perceraian adalah karena zinah yang dilakukan oleh pihak istri. Selain alasan
umum di atas juga ada alasan-alasan lain, yaitu:
Tidak
memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari jabul asal suaminya- Batak).
· Karena
kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sunggu dipertahankan
lagi (Lampung).
· Karena
campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga mereka
( Aceh).
Mahkamah Agung
berpendapat bahwa menurut hukum adat pada umumnya dan menurut hukum Adat
setempat (Batak-Karo), perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan
karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare
tweespalt") dan oleh karena kelakukan-kelakuan yang tidak baik dari pihak
suami. Menurut Mahkamah Agung maka pihak isteri dapat memintakan perceraian
apabila terdapat alasan yang terakhir ini.(Keputusan Mahkamah Agung No. 438K /
Sip / 1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963).
Dari pernyataan
di atas menunjukkan bahwa perceraian dalam sistem perkawinan adat dapat terjadi
sesuai dengan alasan-alasan yang konkrit.Karena perceraian dalam perkawinan
banyak terjadi.Sehingga Mahkamah Agung memberikan pernyataan terutama bagi
pihak isteri berhak untuk mengajukan cerai gugat apabila ada unsur-unsur yang
tidak baik dari suami seperti penganiayaan, tidak memberi nafkah, selingkuh dan
seterusnya.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas
sekiranya kita dapat menyimpulkan bahwa di Indonesia berlaku berupa hukum adat
yang mengatur bagian perkawinan yang pelaksanaanya berlaku sesuai adat dan
kebiasaan suatu tempat tertentu, hukum tersebut tidak di verbalkan secara
meluas tetapi mempunyai sifat yang mengikat sesama masyarakat adat tersebut
berupa sangsi moral/malu ketika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan hukum
tersebut. Berawal dari budaya yang plural sehingga menimbulkan masalah yang
kompleks, akhirnya hukum adat diberlakukan di Indonesia agar bisa mewakili dari
permasalahan tersebut.Hukum perkawinan adat mengenal kepatutan dan keselarasan
dalam pergaulan dan bersifat religio magis, tidak mengenal pembidangan hukum
perdata dan hukum publik.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa dalam tujuan hukum adat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang
aman, tentram dan sejahtera serta hidup yang sakinah mawaddah warahmah.Akan
tetap dalam perkawinan tidak semua yang menjadi harapan tercapai dengan
baik.Adakalanya berakhir dengan perceraian disebabkan oleh suami atau
sebaliknya.Dalam hukum Adat perceraian dari perkawian dibolehkan, dengan alasan
karena tidak lagi terdapat hidup bersama secara rukun ("onheelbare
tweespalt") dan oleh karena kelakuan-kelakuan yang tidak baik dari pihak
suami.Sebagaimana dalam keputusan Keputusan Mahkamah Agung No. 438K / Sip /
1959 6 Januari dan No. 75 K / Sip / 1963.bahwa perceraian dapat terjadi apabila
sudah tidak memungkinkan hidup rukun dan damai.
0 komentar:
Posting Komentar